Sabtu, 26 Mei 2012

Shalat Khusyu: Shalat sebagai meditasi tertinggi dalam Islam

 
 
 
 
 
 
8 Votes

Disarikan dari berbagai sumber oleh Budi Nugroho
Pendahuluan
Ada satu hal keunikan dari buku karya Abu Sangkan yaitu diadakan juga pelatihan shalat Khusyu, baik yang sifatnya gratis maupun pelatihan bernilai jutaan karena diselenggarakan di hotel untuk membidik segmen pasar tertentu.
Sebenarnya bukan masalah buku shalat Khusyu yang terjual sangat laris ini disebabkan isinya sangat bagus, sebab banyak juga buku-buku keagamaan maupun umum yang juga sangat bagus dan terjual sangat laris.
Yang menarik adalah diadakannya pelatihan, terutama pelatihan shalat Khusyu dengan biaya sangat mahal yaitu diatas satu juta rupiah, walaupun juga ada yang sifatnya gratis.
Mengapa ini menarik, sebab selama ini kita sudah banyak mengikuti kursus marketing, ISO, sumber daya manusia, manajemen stratejik, keuangan, ekspor-impor dan beberapa kursus lainnya yang juga mahal dan tidak ada yang mengkritik tentang masalah biaya, tapi ketika ada kursus shalat Khusyu, banyak komentar negatif maupun positif.
Kalau kita lihat bahwa orang yang shalatnya sangat baik disamping mempengaruhi kesehatan, seperti yang di teliti oleh Prof DR. H. Muhammad Shaleh ketika meraih gelar doktornya, juga ada hal yang luar biasa yaitu bisa mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.
Kisah Isra’ dan Mi’raj Rasulullah saw dengan membawa oleh-oleh perintah shalat, bisa menyadarkan kita bahwa selama ini banyak diantara kita sudah mendalami dan kursus aneka keilmuan, namun belum sungguh-sungguh mengikuti kajian dan praktek yang dapat meningkatkan shalat Khusyu kita.
Makalah ini membahas kandungan buku Pelatihan Shalat Khusyu’: Shalat sebagai meditasi tertinggi dalam Islam, karya Abu Sangkan. Sebenarnya bukan kapasitas saya untuk membahas materi yang menurut saya sangat berat ini, mengingat keterbatasan ilmu dan wawasan yang saya miliki. Sedangkan masalah sholat yang khusyu’ lebih merupakan pengalaman ruhani dari setiap individu. Bisa jadi baru sebagian kecil materi yang dapat saya sarikan dari buku yang menjadi best seller tersebut. Oleh karena ini dengan segala kerendahan hati, mohon saya dibukakan pintu maaf atas segala kekurangan dalam penyampaiannya, tidak lupa mohon koreksi bila ada kesalahan kalimat maupun pengutipan ayat Quran dan hadits.
Shalat khusyu’ itu mudah dan sangat nikmat
Satu prinsip utama dalam kiat buku itu adalah, jangan ‘mencari’ khusyu’, cukup siapkan diri untuk ‘menerima’ khusyu’ itu, karena khusyu’ bukan kita ciptakan tapi ‘diberi langsung’ oleh Allah sebagai hadiah nikmat kita menemuiNya.
Bersikap rileks menyiapkan diri kita untuk siap ‘menerima’ karunia khusyu’, karena khusyu’ itu diberi bukan kita ciptakan.
Kepala hingga pinggang dikendorkan, jatuh laksana kain basah yang dipegang ujungnya dari atas. Berat badan mengumpul di kaki yang kemudian serasa keluar akarnya, mengakar ke bumi. Berdiri santai, senyaman kita berdiri. Abu Sangkan menggambarkan laksana pohon cemara, meluruh atasnya, kokoh akarnya sehingga luwes tertiup angin namun tak roboh.
Lalu mulai bertakbir, Allahu Akbar, dan selanjutnya membaca dengan pelan-pelan, meresapi kesendirian dan berusaha menangkap kehadiran Tuhan yang sesungguhnya amat dekat dengan kita, namun kita tumpul untuk merasakannya. Kita sedang menemuiNya sekarang. Kita, ruh kita tepatnya. Badan fisik ini hanyalah alat yang mengantar ruh ini berjumpa kembali dengan yang dicintainya, ialah Allah yang meniupkan ruh ini dahulu ke dalam badan fisik.
Pernahkah kita sholat di belakang imam yang ‘ngebut’ sholatnya? Jawabannya bisa jadi pernah, dan apa yang kita rasakan? Mungkin saja kita kesal. Baru mau selesai Al Fatihah, eh dia sudah ruku’, mau ruku’ eh dia sudah berdiri I’tidal, dan seterusnya. Kita kesal karena irama kecepatan sholat dengan imam berbeda.
Ternyata demikian halnya dengan sholat kita sendiri. Ketika kita sholat, selain badan fisik kita ini sholat pula ruh kita. Ruh inilah yang benar-benar ingin sholat -kembali menemui Tuhannya- sementara badan fisik ini sarana kita mengantarnya dengan gerakan dan bacaan. Ruh kita ini sesungguhnya ingin sholat dengan tenang, santai, tuma’ninah. Sayangnya badan kita ‘ngebut’, jadilah ruh kita itu jengkel sejengkel-jengkelnya karena selalu ketinggalan gerakan badan. Maka tips sederhana dari buku itu adalah jika ruku’, tunggu, tunggu hingga ruh ikut mantap dalam ruku’ itu. Saat I’tidal, tunggu, tunggu hingga ruh mu ikut mantap I’tidal. Demikian pula saat sujud, duduk antara dua sujud, juga duduk tasyahud. Tunggu, tunggu hingg ruh mu ikut sujud, ikut duduk, ikut tasyahud.
Berikan kesempatan ruh kita -sebut saja “aku” yang sejati- untuk mengambil sikap sholatnya. Dia agak lamban, namun sholat ini utamanya untuk ‘aku” kita itu, bukan untuk badan fisik kita.
Esensi sholat adalah doa, berdialog dengan Allah secara langsung.
Kita sebenarnya diberi kesempatan untuk mengadu. Kita adukan semua persoalan kita kepada Allah. Kita adukan semua kebingungan kita, pekerjaan, rizki, kesehatan, cinta, dan semua apapun. Kita mengadu, dan kita pasrah menunggu dijawab. Dan pasti Allah menjawabnya langsung. Ruh bisa merasakannya, namun kalau dia dipaksa tertinggal-tinggal oleh gerakan badan, maka dia tidak sempat menikmati pertemuan dengan Allah itu.
Shalat, Titik Awal Menuju Kebangkitan
Shalat tak sekadar hubungan pribadi antara manusia dan Allah. Shalat mengandung dimensi yang sangat luas. Shalat yang khusyuk tak hanya mendekatkan hubungan manusia dengan Tuhan, tapi juga dapat menjadi daya dorong untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat yang tertib, saling menolong, senang bekerja keras, dan saling mengingatkan di dalam kebaikan.
Sedikit Pemikiran Tentang Khusyu’
Khusyu’ dalam shalat adalah impian setiap Muslim.  Keadaan semacam ini telah banyak diceritakan dalam kisah-kisah inspiratif dari masa lampau yang mengundang decak kagum.  Sebutlah misalnya tentang seorang sahabat Rasulullah saw. yang tubuhnya tertembus panah, kemudian ia minta agar panah tersebut dicabut ketika ia sedang shalat saja.  Ketika anak panah itu dicabut, ia seolah tidak merasakan sakit sama sekali lantaran khusyu’ dalam shalatnya.
Gerangan kondisi semacam apakah khusyu’ itu sebenarnya?  Apakah khusyu’ itu berarti tidak memikirkan apa pun selain shalat?  Apakah kita seharusnya tidak mempedulikan hal-hal duniawi ketika shalat?
Anggapan bahwa orang yang shalat dengan khusyu’ hanya memfokuskan pikirannya pada satu kegiatan (yaitu shalat) agaknya malah terbantahkan dengan berbagai teladan yang dilakukan sendiri oleh Rasulullah saw.  Beliau bahkan pernah melakukan shalat sambil mengasuh anaknya.  Ketika berdiri, anak itu digendongnya, dan ketika ruku’ atau sujud, anak itu pun diturunkannya.  Tentu saja hal ini menunjukkan bahwa beliau telah membagi pikirannya ketika shalat.  Di lain pihak, kita tidak mungkin menuduh Rasulullah saw. telah melaksanakan shalat dengan tidak khusyu’.  Kalau beliau saja tidak khusyu’, lalu siapa yang bisa melakukannya?
Di lain kesempatan, Rasulullah saw. juga pernah mempersingkat shalat berjamaah yang dipimpinnya karena mendengar tangisan seorang anak.  Beliau mempersingkat shalat karena sadar bahwa sang ibu pastilah merasa khawatir karena mendengar tangisan anaknya.  Artinya, beliau sempat berpikir dan membuat keputusan penting ketika sedang melakukan shalat.  Sekali lagi, Rasulullah saw. adalah contoh terbaik dalam hal shalat khusyu’.  Hal ini tidak bisa dibantah oleh siapa pun.
Jadi, bagaimanakah khusyu’ itu sebenarnya?
Memusatkan pikiran kepada satu hal dalam shalat agaknya tidaklah dimungkinkan.  Shalat itu sendiri terdiri dari berbagai gerakan dan bacaan.  Kita harus mengendalikan ucapan kita, membaca doa-doa dan ayat-ayat Al-Qur’an menurut aturan tertentu, dan hal itu pasti menuntut pembagian konsentrasi.  Demikian pula pengaturan gerakan pastilah memerlukan kesadaran yang cukup.  Jika kita melepaskan kesadaran dalam segala hal, maka barangkali shalat kita akan tampak seperti tari-tarian orang yang menelan ekstasi atau orang yang sedang kesurupan.  Tapi shalat tidak seperti demikian.  Shalat adalah rangkaian perbuatan yang dilakukan secara teratur dengan penuh kesadaran.
Dan mohonlah pertolongan dengan sabar dan shalat.  Dan sesungguhnya shalat itu berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’.  (Yaitu) orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menjumpai Rabb mereka dan sesungguhnya mereka akan kembali kepada-Nya.  (Q.S. al-Baqarah [2] : 45 – 46)
Allah SWT sendiri mengatakan bahwa shalat itu berat (yang artinya memang seharusnya kita merasa bahwa shalat itu adalah suatu ibadah yang cukup kompleks).  Pada ayat ke-45 di atas, Allah menegaskan bahwa hanya orang-orang yang khusyu’ sajalah yang bisa mendapatkan manfaat terbesar dalam shalat.  Ayat selanjutnya memberi kita informasi yang kita butuhkan untuk memahami makna khusyu’ yang sebenarnya.
Cukup sederhana, ternyata.  Mereka yang khusyu’ ditandai oleh sebuah sifat : yakin bahwa dirinya akan menjumpai Allah (dalam shalat) dan suatu hari nanti akan kembali kepada-Nya.  Sederhana, tapi bukan perkara yang mudah.
Hal ini kemudian membawa kita pada berbagai konsekuensi.  Barangkali perlu dibuat berjilid-jilid buku untuk menjabarkan keseluruhan konsekuensi dari khusyu’ tersebut.  Yang jelas, mereka yang khusyu’ ditandai oleh sikap khidmatnya yang luar biasa ketika sedang melaksanakan shalat, karena mereka yakin bahwa mereka tengah ‘berjumpa’ dengan Rabb-nya, yaitu Dzat yang memiliki dirinya dan menjadi satu-satunya tempat kembali untuknya kelak.  Tentu saja masih banyak sikap lainnya yang akan muncul di luar shalat sebagai konsekuensi dari keyakinan ini, namun itu masalah lain lagi.
Sekarang kita telah memiliki sedikit gambaran mengenai sikap khusyu’ dalam shalat.  Konkretnya, kita harus meyakini bahwa ketika shalat kita sedang menghadap Allah SWT, bukan yang lain.  Dengan demikian, kita harus mengatur setiap ucapan dan gerakan kita.
Sebagai perbandingan, anggaplah Anda sedang berbincang-bincang dengan seorang ulama yang paling Anda hormati.  Bagaimanakah sikap Anda?  Tentu Anda akan mengatur ucapan Anda, khawatir kalau-kalau Anda akan memberikan kesan buruk di hadapannya.  Setiap kata yang mengalir dari mulut akan dipilih baik-baik dan diusahakan terucap dengan sejelas mungkin.  Tidak terburu-buru, tapi juga tidak terlalu lambat.
Bagaimana dengan bahasa tubuh Anda?  Tentu saja Anda tidak akan bergerak serampangan.  Anda tidak akan mengobrol dengannya sekedar basa-basi.  Anda tentu akan berbincang-bincang dengan sangat serius dan tidak membuat gerakan yang tidak perlu.  Anda tidak akan menggaruk-garuk ketiak di hadapan seseorang yang amat dihormati, bukan?
Sekarang refleksikanlah sikap tersebut dengan shalat Anda!  Tentu saja Allah SWT jauh lebih mulia daripada ulama mana pun, bahkan Dia-lah Yang Maha Mulia, tidak ada bandingannya dengan apa pun.  Jika kita mengatur ucapan dan gerak-gerik kita di hadapan seorang ulama, lebih-lebih lagi di hadapan Allah!
Kita berdiri tegak untuk shalat dengan postur yang sempurna layaknya prajurit yang akan melaksanakan upacara bendera.  Kita bersiap untuk melakukan sesuatu yang amat formal.  Ketika akan bertemu Allah SWT, tentu saja kita dituntut untuk mengatur sikap.  Kita menundukkan wajah kita, menatap ke arah sujud karena rasa takut dan khidmat kepada Allah.  Kehadiran-Nya bisa dirasakan di seluruh ruangan, bahkan seluruh alam berkhidmat kepada-Nya.
Kemudian mulailah kita mengangkat tangan untuk takbiratul ihram.  Tidak perlu terburu-buru, tidak perlu dilambat-lambatkan.  Gunakanlah waktu secukupnya untuk tetap merasakan kehadiran-Nya.  Setelah itu, mulailah membaca surah Al-Fatihah dan seterusnya dengan tertib.  Tidak boleh ada kata yang salah terucap, huruf yang tidak jelas makhraj-nya, kalimat yang tidak jelas maknanya, bacaan yang kita tidak mengerti maksudnya, dan penuturannya pun harus terlantun dengan indah bagaikan lagu.  Kita tengah berhadapan dengan Allah.
Setelah selesai membaca Al-Fatihah dan beberapa ayat tambahan, maka kita mulai melakukan ruku’.  Gerakan ini tidak dimulai jika bacaan kita belum selesai.  Sebaliknya, bacaan ruku’ pun tidak dilakukan sebelum kita benar-benar sampai pada posisi akhir ruku’ tersebut.  Segalanya harus tertib dan formal.  Di hadapan kita ada Allah Yang Maha Melihat.
Selanjutnya, setiap gerakan dan bacaan harus dilakukan dengan tertib, tidak saling mengejar dan memburu.  Selesaikan sebuah gerakan, baru membaca doa.  Selesaikan doa, baru melakukan gerakan berikutnya.  Tidak boleh ada overlap dalam sebuah ibadah formal.  Ini tidak main-main.  Demikian seterusnya hingga akhirnya kita mengucapkan salam sebagai tanda selesainya ibadah shalat.  Setiap rukun shalat harus ditunaikan sebaik mungkin, serapi mungkin, dan tertib.
Barangkali sahabat yang tertusuk anak panah tadi juga merasa sakit ketika anak panah itu dicabut dari tubuhnya ketika shalat.  Hanya saja, ia begitu merasa takut di hadapan Allah dan berusaha sedemikian kerasnya untuk bersikap tertib ketika shalat.  Ia tidak berani untuk sekedar mengaduh atau meringis kesakitan.  Ia tahu persis bahwa shalat adalah ibadah yang bukan main-main.  Ini ibadah serius.
Sumber
1. Masrukhul Amri. Shalat Khusyu. http://www.cybermq.com/cybermq/detail_kolom.php?id=98&noid=1 (diakses 16/10/06).
2. Khoirul Ummah. Shalat khusyu’ itu mudah dan saaangat nikmat. http://khairulu.blogsome.com/2005/10/26/shalat-khusyu-itu-mudah-dan-saaangat-nikmat/ (diakses 16/10/06).
3. Abu Sangkan. Simulasikan Blocking Mental. http://www.its.ac.id/berita.php?nomer=3097 (diakses 16/10/06).
4. Shalat, Titik Awal Menuju Kebangkitan. http://www.republika.co.id/suplemen/cetak_detail.asp?mid=5&id=174272&kat_id=105&kat_id1=147 (diakses 16/10/06).
5. Sedikit Pemikiran Tentang Khusyu’. http://akmal.multiply.com/journal/item/168 (diakses 16/10/06).
6. Abu Sangkan. Pelatihan Shalat Khusyu’: Shalat sebagai meditasi tertinggi dalam Islam. Shalat Center dan Baitul Ihsan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar